Mendapatkan Kesempatan Untuk Menikmati Tubuh Pembantuku

0

Ketika anak saya berumur satu tahun saya pindah rumah. Kami sering berganti-ganti pembantu. Paling lama mereka hanya bertahan satu tahun. Yang pertama dengan seorang gadis bernama Diah. Usianya saat itu 26 tahun. Dia kami peroleh di sebuah penampungan PRT, semacam sebuah yayasan.

Saat itu istri saya sedang memilih-milih sejumlah PRT yang ditawarkan pengelola. Lalu saya lihat istri saya berbicara dengan gadis itu. Beberapa saat kemudian istri saya menghampiri saya. “Gimana kalau dia saja?” tanyanya. Saya bingung. Kalau melihat bagaimana gadis itu bersikap terhadap anak saya, rasanya dialah yang kami cari. Dia terlampau cantik sebagai PRT. Kulitnya coklat bersih. Tinggi sedang, ramah, periang. Teteknya sangat besar. Akhirnya gadis bernama Diah itu kami ambil.

Saya benar-benar tergoda oleh semua yang ada dalam diri Diah. Kecantikannya, kebersihan kulitnya, teteknya, keramahannya. Dua bulan sejak dia ikut kami, saya sudah mulai punya pikiran kotor. Saya mulai mencari cara untuk bisa meniduri Diah. Maukah dia? Serangan terhadap Diah saya lakukan pada suatu malam ketika istri saya keluar kota. Birahi saya muncul sejak siang. Istri saya berpesan kepada Diah supaya kalau malam Nisa tidur dengan dia.

Soalnya istri saya paham betul tabiat saya kalau tidur malam. Sejak sore Nisa bersama saya, bercengkerama di depan TV, lalu tertidur sekitar jam 19.00. Saya tiduran di sebelahnya sambil nonton TV. Tapi sebenarnya pikiran saya sedang kacau oleh birahi dan keinginan untuk menikmati tubuh Diah. Tetek gadis itu benar-benar sangat menggoda saya. Seperti apa rupanya tetek besar seorang pembokat? Saya ingin meremas-remasnya, ingin mengulum dan menjilatinya.

Saya tiduran dengan berbalut sarung, tanpa baju. Hanya CD saja. Jam 20.00 Diah meminta Nisa untuk dibawa ke kamarnya. Saya pura-pura menolaknya. “Sudah biar tidur sama saya saja,” kata saya. Saya diam saja. Gadis itu mengenakan kaos denga rok span di atas lutut. Dia duduk melipat lutut di sebelah Nisa. Hmm.

Sepasang pahanya yang putih tersembul dari roknya. “Sudah kamu tiduran di situ dulu nanti kalau sudah waktunya aku bangunin terus kamu bawa Nisa ke kamarmu,” kata saya. Perangkap saya pasang. Dia tampak ragu dan bingung. “Sana ambil bantal kamu!” perintah saya. Dia beranjak. Kemudian datang lagi dengan membawa bantal dan selimut. Dia rebahkan tubuhnya di sisi Nisa. Dia balut tubuhnya dengan selimut. Tenggorokan saya seperti tersekat. Kering, haus rasanya. Saya tidur dengan Diah hanya dibatasi si kecil Nisa.

Diah mencoba memejamkan mata. Sesekali melirik ke arah TV. Lalu saya tidur menghadap ke arahnya dan memandanginya. Rupanya dia tahu saya memandangi. Sekilas dia memandang saya, lalu memejamkan mata. Saya memandangi terus. Semakin kagum, dan semakin panas dingin tubuh saya.

Penis saya sudah tegang sejak tadi. Saya bingung bagaimana mengawali. Maukah Diah menerima saya? Pikiran saya mulai kacau. Antara berani dan tidak. Saya mencoba tersenyum kepadanya ketika dia melirik saya. Dia tak bereaksi. Tampaknya dia tahu apa yang berkecamuk dalam benak saya. Saya memanggil namanya pelan. Dia membuka matanya. “Kamu cantik sekali.” Dia terbelalak dan merapatkan selimutnya. Saya terus memandanginya. Lalu saya lihat dia tersenyum tipis. “Kamu cantik sekali,” kata saya lagi. Wajahnya merah. Timbul keberanian saya. Saya mencoba meraih jemarinya yang tersembul dari selimut.

Sesaat kemudian saya coba raih helai-helai rambutnya. Saya elus kepalanya. Dia diam. Saya makin berani. Nisa bergerak-erak seperti mau bangun. Diah mencoba menengkan dengan menepuk-nepuk punggungnya. Kesempatan itu saya gunakan untuk meraih tangannya. Saya gengam.

Dia diam, hanya matanya yang lurus ke arah mata saya. Saya cium tangan itu. Penis saya makin tegang. Saya ciumi punggung tangan itu, lalu telapak tangannya. Tak ada rekasi. Saya makin berani. Secepat kilat saya bergeser tempat. Kali ini di belakanganya. “Bapak jangan gitu, ahh,” dia menepis tangan saya yang mencoba memeluknya. Saya tersenyum dan kembali memeluknya. Kali ini dia diam. Saya merapatkan badan kepadanya. Saya gesek-gesekkan penis saya ke tubuhnya.

Dia menggelinjang sebentar, dan berusaha menjauh, tapi tubuhnya terantuk tubuh kecil Nisa. Saya makin beringas. Saya buka selimutnya. Saya usap kakinya. Ke atas, di paha. Dia mendesis dan berusaha menghindar. “Saya tidur di kamar saja ahh.” Dia mencoba bangkit tapi saya menahannya. “Jangan.” …“Bapak nakal sih.” Saya menghentikan aksi. Sesaat kemudian hanya tangan saya yang saya taruh di pinggangnya. Dia diam saja. Lalu saya kembali memeluknya. Ahh tepatnya mendekap dia.

Saya gesek-gesek pelan tangan saya di bagian perutnya. Dia tak bereaksi. Saya terus berusaha memberi rangsangan dengan menyusupkan jari saya ke kulit perutnya. Tampaknya berhasil. Dia mendesis. Tak ada perlawanan. Tangan saya merayap pelan ke atas sampai terentuh dinding yang sangat tebal. Tetek yang luar biasa besarnya. Benar-benar baru kali ini saya liat tetek sebesar ini. Saya sentuh pelan-pelan. Saya takut dia menolaknya. Tapi tidak ada reaksi. Baru ketika saya pelan-pelan meremas, tubuhnya terlihat bergerak-gerak. Dia melenguh. Saya makin kalap. Remasan makin keras, dan menyelusuplah tangan saya ke dalam BH-nya. Tersentuh dagihg kenyal. Saya raba, saya remas. Diah menggelinjang. “Hh..” Tangannya mencengkram tangan saya.

Saya mulai menaiki tubuhnya. Sarung saya lepas. Saya hanya bercelana dalam. Diah memejamkan mata. Saya cium bibirnya dengan tangan saya tetap meremas-remas payudara besarnya. Tanpa saya duga, dia membalas ciuman saya. Bakan menghisap lidah saya dengan rakus. Bibir saya bergerak turun ke leher. Selimut telah lepas dari tubuhnya. Saya singkap kaosnya, dan akhirnya, saya lihat kutang itu terlalu kecil untuk teteknya yang super besar. Hanya dengan sekali geser.

Putingnya telah tersembul. Saya cium puting itu. Saya hisap, dan saya gelitik. Dia meronta-ronta. Tangannya memeluk saya erat-erat. Lalu saya cium lagi bibirnya. Tangan saya bergerak ke bawah, ke celah CD-nya, mengelus-elus semak-semak lembut, dan menggelitik sebuah celah yang telah basah. Diah mencengkeram kepala saya, lalu menariknya. Dia mencium bibir saya. Melumatnya. Lidah saya disedot dengan hebatnya. Saya permainkan tangan di bawah, menyusuri sepasang bibir vagina. Kadang memutar-mutar di ujung bibir. Tangan Diah telah mengocok penis saya.

Mengocok dan meremas-remas dengan sangat kuatnya. Saya buka CD Diah, hingga pangkal kakinya, lalu dia menendang sendiri CD itu, melayang ke dekat TV. Dia juga menarik CD saya. “Kamu masih perawan Diah?” tanya saya. Dia mengangguk sambil terus mengocok penis saya. Kocokan yang kasar. “Kamu mau saya masukkan ini saya?” saya memegang tangannya yang sedang mengocok penis. Dia mengangguk. Saya membalikkan tubuh saya, mengangkat kedua pahanya yang padat. Memeknya disinari cahaya TV. Saya terus menjilatinya. Diah mengerang-erang. Saya coba menaruh penis saya di depan mulutnya. Tapi dia hanya meremas dan mengocoknya.

Ketika lidah saya makin beringas menjilati memeknya, barulah dia memasukkan penis saya di mulutnya. Saya sibakkan bibir memeknya. Saya jilat-jilat isinya, jari tengah saya mencoba menusuk pelan. Diah mengangkat pantatnya. Mulutnya menghisap-hisap penis saya. Terdengar bunyi sangat keras. Ketika saya merasa hendak ejakulasi, saya tarik penis saya. Saya ingin sperma saya jatuh di luar mulutnya. Serentak dengan itu saya mengulum kelentit. Diah menarik pinggul saya dan menghisap kuat penis saya.

Srtt srrtt Sperma saya pu terpancar. Tapi kali ini saya justru menekannya. Saya tidak ingin penis saya lepas dari mulutnya. Seluruh mani saya telah keluar. Sebagian telah masuk ke dalam kerongkongan Diah. “Sekarang Diah tiduran, aku masukin ya senjataku ke tempik Diah” kata Saya. Tanpa perlu menjawab, Diah merebahkan tubuhnya memasang posisi, kemudian Saya mulai menusukkan senjatanya kedalam lubang kenikmatan Diah.

“Auuu… pelan-pelan pakkk… masukinnya…” Diah merasakan moncong senjata Saya memasuki lubang tempiknya. Setelah di rasa cukup masuk dan menyesuaikan di dalam lobang kenikmatan Diah, mulailah Saya memaju-mundurkan senjatanya. “Ssshhh… enaaak pakkk… terusss… yang dalammm …”erang Diah keenakan. “Accchhh…pakkk … aku moo keluuaarrrr… aahhh…” Diah melenguh panjang, pertanda telah sampai orgasmenya. Dijepitnya pinggang Saya… dipeluknya dada Saya, seolah mau melumat tubuh Saya, Saya sedikit meringis merasakan jepitan kaki Diah dan pelukan tangan Diah di tubuhnya, tetapi Saya mengerti akan kenikmatan Diah, maka dibiarkannya wanita itu menjepit tubuhnya.

Setelah beberapa saat Saya memberi waktu untuk Diah mengembalikan nafas liarnya, saya berinisiatif untuk merubah gaya, saya suruh Diah untuk nungging membelakangiku, Saya melakukan dogy style. Inipun sensasi lain yang dirasakan Diah, baru dengan Saya ini ia merasakan indahnya persetubuhan. Saya pun merasakan sensasi lain dari jepitan lubang Diah, dengan posisi ini, lubang kemaluan Diah semakin dirasakan sempit, Diah, “saya mau keluar nihhh…aaahhh…” lenguh Saya. Demikian juga Diah yang semakin liar memeluk serta menggigit sarung saya, “aaacchh… emmmhhh… pakkk…” Kami terkapar dengan deru nafas yang saling berlomba, Diah memeluk Saya, Saya membelai rambut Diah.

Kami saling mendekap, berpagutan, disela deru nafas kami berdua. Dia tersenyum lalu beranjak menuju kamar mandi. Saya puas. Benar-benar puas. Perseligkuhan dengan Diah saya ulangi beberapa kali. Banyak sekali kesempatan terbuka. Segalanya berjalan sangat lancar. Kami melakukannya tidak hanya ketika istri saya serang keluar kota. Tetapi juga siang hari saat istri kerja dan aku pulang diam-diam.


Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top